Pages

Friday, August 17, 2018

A Room with A Coconut View, Meledek Gaya Hidup Internet dengan Film Internet

Arkipel 2018 punya satu film surealis dari Thailand yang menunjukkan betapa karya era digital dan internet bisa melaju dengan banyak kemungkinan konten dan cara bercerita. A Room with A Coconut View, garapan penulis-sutradara-editor Tulapop Saenjaroen, merefleksikan keaslian dalam kultur pop 2.0 dan hasrat berlibur dengan ragam bahasa produksi internet itu sendiri, seperti stok multimedia, grafis, suara manusia artifisial, serta internet meme.

Ini adalah jenis "screen movie" yang menggunakan bingkai layar (bukan dunia yang ditunjukkan layar) sebagai pusat cerita. Interaksi tokoh seluruhnya terjadi dalam layar yang dilihat oleh penonton. Film sejenis, tetapi tidak serupa, adalah Unfriended (2014) dan sekuelnya Unfriended: Dark Web (2018).

Selama 29 menit, A Room with A Coconut View mengikuti percakapan Kanya dan Alex, keduanya disuarakan oleh mesin text-to-speech (TTS) pembuat suara otomatis buatan MacOS. Kanya adalah pemandu wisata berbahasa Thai di hotel Pantai Bangsaen dan Alex adalah turis berbahasa Inggris yang berencana piknik dan menginap di sana. Kendati beda bahasa, kita sebagai penonton tahu apa yang mereka bicarakan lewat sulih teks berbahasa Inggris.

Sebagai gambaran, tokoh Kanya dan Alex ini seperti Samantha dalam Her (2013) atau Jarvis dalam film-film Iron-Man. Kita hanya mendengar suara mereka yang tidak pernah punya tubuh fisik.

Alex protes kepada Kanya karena memberinya kamar dengan pemandangan pohon kelapa, padahal dia minta pemandangan laut. Lantas Kanya mengajak Alex berkeliling hotel dengan menunjukkan gambar pantai, lobi hotel, kolam renang, ruang laundry, dan kompresor AC. Alex protes lagi karena Kanya sekadar menyebut nama obyek yang sudah tampak eksplisit dalam gambar.

Bagi Alex, gambar adalah sebuah paradoks. Dia hanya mampu menampilkan sesuatu yang ada dalam bingkai, tetapi pada saat bersamaan tidak bisa tidak menampilkan sesuatu di luar bingkai (subteks). Jadi, saat Kanya menunjukkan video ombak pantai, Alex berusaha memperkaya. Ombak bergulung-gulung ke arah kita tetapi tidak pernah mencapai kita karena pada saat yang sama, ombak terdepan pecah dan "menyerah".

Kanya membuat penjelasan lain tentang mekanisme fisika ombak, kaitannya dengan dorongan angin, perputaran konstan arus permukaan, serta arus air bawah. Alex menyebut sistem itu ibarat animasi 3D, yang memberi ilusi bahwa obyek bergerak padahal tidak pernah meninggalkan lokasi aslinya.

Filosofi atau pemahaman realita ini memang tampak absurd dan "bermain-main" sesukanya. Namun dia menjadi pijakan dasar untuk memahami gaya cerita keseluruhan film dan renungan Alex atas perjalanan wisatanya di Bangsaen. Sampai saat ini pun, kita tidak melihat wujud visual Kanya dan Alex, atau apakah semua obyek dalam gambar berasal dari lokasi yang sama. Keaslian obyek segera menjadi sesuatu yang tidak relevan.

Perihal keaslian dan asal-usul juga menjadi topik yang sering dibicarakan Alex dan Kanya. Misalnya, ketika Kanya bercerita sejarah singkat Bangsaen kepada Alex. Dari penjelasan itu, Alex kesulitan melihat jejak masa lalu Bangsaen dalam situasi kota sekarang. Contoh lain adalah ketika mereka menonton potongan adegan film biografi bos mafia Somchai Khunpluem alias Kamnan Poh. Alex bertanya apakah Somchai membuat film tentang gambaran dirinya sendiri, tetapi Kanya tak mau menjawab.

Percakapan Alex dan Kanya tampak begitu hidup, meskipun sejak awal kita sudah tahu bahwa mereka adalah suara otomatis yang diproduksi komputer berdasarkan input teks tertulis dari pembuat film. Namun dengan segala komposisi film ini – suara, gambar, teks, musik, urutan dan tempo perpindahan gambar – kita seolah percaya ada tokoh-tokoh yang hidup dan berinteraksi di sana.

Panggung percakapan mereka juga menjadi komedi. "Mesin" ternyata bisa melucu. Salah satunya dalam segmen potongan film biografi Somchai. Saat Alex membahas film tersebut, Kanya sibuk memotong obyek dari gambar tersebut dengan "selection tool". Kursor mouse muncul di layar dan menandai titik-titik perpotongan.

Momen komedi lain adalah ketika Kanya tertidur di tengah presentasi. Tiba-tiba layar menjadi gelap dan muncul pendar cahaya dengan banyak ekor. Ini adalah screen saver, yang sejatinya memang muncul ketika komputer dalam keadaan "sleep" karena pengguna tidak aktif selama durasi tertentu. Screen saver tiba-tiba menjadi antropomorfik atau punya sifat-sifat manusiawi.

Karena hampir seluruh film ini dibangun dengan referensi kultur pop internet, saya tidak begitu yakin orang yang belum akrab dengan internet meme akan paham saat menontonnya.

Alex tidak puas karena semua cerita dan penjelasan Kanya terlalu diatur dan dibatasi. Setelah melihat "fragmen-fragmen mimpi" Kanya, Alex memutuskan untuk berkeliling sendiri di kota. Suara tokoh ketiga muncul, yaitu Karen yang mengenalkan diri sebagai narator pikiran Alex selama jalan-jalan. Karen adalah mesin suara TTS perempuan berbahasa Inggris.

Alex merasa piknik itu begitu dangkal. Dia mengunjungi obyek wisata populer yang belum pernah dia temui, tetapi rasanya biasa saja, seperti Hell Garden atau jalanan bukit dengan banyak monyet. Ini terasa sebagai gugatan atas gaya hidup "vakansi" sebagian masyarakat era Instagram, yang melebih-lebihkan atau meromantisir situasi aslinya.

Alex kecewa dengan gagasan soal liburan. Layar berubah ke gambar kota malam hari. Muncul gambar kepulan asap dengan suara orang merokok, mengisyaratkan Alex mengisap rokok ganja. Layar masuk ke gaya visual "halusinasi" dan Alex kembali berfilsafat. "Bukankah turis asing baru merasakan liburan jika sudah mengisap rokok ini?" katanya.

Jelang akhir film, Alex mengajak penonton ke sebuah bioskop "alternatif". Alternatif karena dia tidak bisa masuk ke ruang menonton dan hanya bisa mengamati dari luar, dari sudut pandang "alternatif". Baginya, bioskop seperti mesin ajaib yang bisa membawa para penonton menuju dunia lain, tanpa membuat mereka berpindah dari lokasi aslinya.

Alex baru merasakan liburan ketika dia mengikuti gambar sejumlah anak muda yang naik sepeda motor dan kebut-kebutan di jalan tanpa helm. Bagi Alex, kekacauan tersebut membebaskan dirinya dari bingkai-bingkai layar yang tak pernah habis.

A Room with A Coconut View, yang diklaim Tulapop sebagai "sebuah video" dan bukan "sebuah film", terasa sebagai ajakan bagi penonton untuk menilik kembali esensi atas banyak hal dalam cara main-main tetapi sebenarnya serius. Saya menonton film pendek ini dua kali dan merasa masih banyak hal terlewat.

Dalam segmen penutup, Tulapop melalui tokoh Alex menyimpulkan satu hal yang terdengar kelam, berangkat dari pemahaman tentang gulungan ombak-ombak pantai.

"Setelah melihat sendiri kota ini, aku tak bisa membayangkan masa lalu kota ini adalah hutan liar," kata Alex dalam suratnya kepada Kanya.

"Namun aku lebih kesulitan lagi membayangkan masa depannya. Tampaknya masa depan sudah ditarik ke masa sekarang dan masa sekarang telah dimodulasi (diatur) ke situ. Aku berpendapat bahwa kita tidak sedang maju ke masa depan, tetapi mundur ke sana," tukasnya.

(ELG)

Let's block ads! (Why?)

http://hiburan.metrotvnews.com/film/1bVGxJ7k-a-room-with-a-coconut-view-meledek-gaya-hidup-internet-dengan-film-internet

No comments:

Post a Comment